
Bahagia adalah tujuan hidup seluruh manusia.KOndisi dimana seseorang dapat hidup tentram, damai dan sejahtera. Banyak cara dilakukan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Ada yang berkerja keras untuk mencapai kebahagiaan dengan mencari dan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, karena berfikir materilah yang akan membuatnya bahagia. Ada pula yang mengira memiliki kekuasaan adalah titik puncak kebahagiaan sejatinya, maka ia akan mati-matian berusaha mencapai kekuasaan.
Namun ada pula yang mendefinisikan bahagia dengan cukup sederhana. Ada yang merasa bahagia ketika melihat orang lain bahagia karenanya. Ada yang bahagia ketika bisa berbagi, bahagia ketika sanggup menolong, bahagia karena mampu membantu dan lain-lain. Apakah seseorang yang memiliki keterbatasan fisik (baca= cacat) tidak berbahagia? Ternyata mereka juga bahagia. Keterbatasan fisik ternyata tidak menghalangi mereka untuk hidup bahagia. Saya pernah dikirimi post card dari kumpulan pelukis kaki. Mereka adalah kumpulan orang-orang yang tidak memiliki tangan sehingga untuk menulis, makan dan lain sebagainya mereka mengandalkan kakinya. Saya melihat semangat disana dan aku sangat yakin, mereka tidak menjadi minder karenanya, tapi mereka berbahagia karena dianugerahi talenta luar biasa sehingga mereka bisa tetap bertahan hidup tanpa menyusahkan orang lain. Mereka memperlihatkan kelebihan atas kekurangan diri mereka yang belum tentu dapat dilakukan oleh orang-orang normal. Bahagia merupakan kondisi klimaks perasaan menyenangkan yang terjadi pada diri seseorang.
Rasa bahagia setiap orang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana ia melihat. Saya sempat bertanya pada beberapa orang mengenai apa yang membuat mereka bahagia. Sebagian besar dari mereka, terutama yang telah berkeluarga beranggapan bahwa memiliki keluarga yang utuh, anak-anak yang sehat dan pintar serta kecukupan materi merupakan sumber kebahagiaan mereka. Lalu, bila ternyata kebahagiaan tidak terdefinisikan, adakah sebenarnya kebahagiaan hakiki bagi seorang manusia?
Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika ia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah, telah mengenal Allah SWT.Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya rasa itu ialah menurut perasaan masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga adalah mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dalam tubuh manusia."
Ketika hati dan fikiran dijadikan tempat untuk mengingat Allah, maka kebahagiaan hati adalah Ma'rifatullah. Tengok saja, betapa seorang rakyat akan sangat gembira ketika ia dapat mengenal pejabat dan kebahagiaan itu akan berlipat ganda ketika ia dapat mengenal orang yang berpangkat lebih tinggi, misalnya menteri atau bahkan presiden. Maka tentu saja ketika seorang muslim dapat mengenal Allah, maka dapat dipastikan itulah puncak kebahagiaan, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah SWT.
Seorang muslim yang telah mencapai ma'rifatullah tentunya hidup bahagia dalam keimanan dan keyakinan. Dalam kondisi apapun ia tetap berbahagia karena ia telah mengenal Allah, ridha dengan segala keputusan-Nya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah. Ia akan berbahagia saat menjalankan shalat, bahagia saat menunaikan zakat, bersedekah bahkan saat ditimpa musibah, karena yakin Allah tidak akan memberi cobaan melampaui batas kemampuannya.
Jadi apalagi yang kita cari untuk mencapai kebahagiaan hakiki? Mudah-mudahan Allah mengkaruniakan kita sebuah keyakinan dan keimanan untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya hingga kita dapat mencapai ma'rifatullah dan mendapatkan kebahagiaan abadi dunia dan akhirat. Amien..
Namun ada pula yang mendefinisikan bahagia dengan cukup sederhana. Ada yang merasa bahagia ketika melihat orang lain bahagia karenanya. Ada yang bahagia ketika bisa berbagi, bahagia ketika sanggup menolong, bahagia karena mampu membantu dan lain-lain. Apakah seseorang yang memiliki keterbatasan fisik (baca= cacat) tidak berbahagia? Ternyata mereka juga bahagia. Keterbatasan fisik ternyata tidak menghalangi mereka untuk hidup bahagia. Saya pernah dikirimi post card dari kumpulan pelukis kaki. Mereka adalah kumpulan orang-orang yang tidak memiliki tangan sehingga untuk menulis, makan dan lain sebagainya mereka mengandalkan kakinya. Saya melihat semangat disana dan aku sangat yakin, mereka tidak menjadi minder karenanya, tapi mereka berbahagia karena dianugerahi talenta luar biasa sehingga mereka bisa tetap bertahan hidup tanpa menyusahkan orang lain. Mereka memperlihatkan kelebihan atas kekurangan diri mereka yang belum tentu dapat dilakukan oleh orang-orang normal. Bahagia merupakan kondisi klimaks perasaan menyenangkan yang terjadi pada diri seseorang.
Rasa bahagia setiap orang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana ia melihat. Saya sempat bertanya pada beberapa orang mengenai apa yang membuat mereka bahagia. Sebagian besar dari mereka, terutama yang telah berkeluarga beranggapan bahwa memiliki keluarga yang utuh, anak-anak yang sehat dan pintar serta kecukupan materi merupakan sumber kebahagiaan mereka. Lalu, bila ternyata kebahagiaan tidak terdefinisikan, adakah sebenarnya kebahagiaan hakiki bagi seorang manusia?
Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika ia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah, telah mengenal Allah SWT.Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya rasa itu ialah menurut perasaan masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga adalah mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dalam tubuh manusia."
Ketika hati dan fikiran dijadikan tempat untuk mengingat Allah, maka kebahagiaan hati adalah Ma'rifatullah. Tengok saja, betapa seorang rakyat akan sangat gembira ketika ia dapat mengenal pejabat dan kebahagiaan itu akan berlipat ganda ketika ia dapat mengenal orang yang berpangkat lebih tinggi, misalnya menteri atau bahkan presiden. Maka tentu saja ketika seorang muslim dapat mengenal Allah, maka dapat dipastikan itulah puncak kebahagiaan, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah SWT.
Seorang muslim yang telah mencapai ma'rifatullah tentunya hidup bahagia dalam keimanan dan keyakinan. Dalam kondisi apapun ia tetap berbahagia karena ia telah mengenal Allah, ridha dengan segala keputusan-Nya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah. Ia akan berbahagia saat menjalankan shalat, bahagia saat menunaikan zakat, bersedekah bahkan saat ditimpa musibah, karena yakin Allah tidak akan memberi cobaan melampaui batas kemampuannya.
Jadi apalagi yang kita cari untuk mencapai kebahagiaan hakiki? Mudah-mudahan Allah mengkaruniakan kita sebuah keyakinan dan keimanan untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya hingga kita dapat mencapai ma'rifatullah dan mendapatkan kebahagiaan abadi dunia dan akhirat. Amien..
0 komentar:
Posting Komentar